Pemandu cowok itu mengenakan kaos polo hitam, sarung dan sandal jepit. Begitu melihat mini bus kami terparkir, dia langsung meloncat turun dari berugak (bale bale) dan menyalami saya dan rombonganku satu per satu.
“Selamat datang di desa Ende” sambut dia.
Welcome to Desa Sasak Ende |
“Soalnya disini tidak boleh mendirikan bangunan modern” kilahnya. Akhirnya dia yang telah berkeluarga ini pun memutuskan pindah tak jauh dari desa ini.
Desa Ende merupakan salah satu desa wisata yang masih menjunjung tinggi nilai dan istiadat suku Sasak. Desa yang berlokasi di kabupaten Lombok Tengah ini dihuni lebih kurang 130 orang. Menurut bang win, leluhur mereka adalah perantau dari tanah Jawa.
“Makanya bahasa sasak sama Jawa itu ada miripnya” kata bang Win.
Kami berjalan melalui tanah setapak dan disapa sapi sapi malas yang sedang mengunyah rumput hijau sedangkan ekornya sibuk mengibas lalat di badannya. Plang tanda pengenal desa ini menyambut kami.
“Bacanya ende, bukan ende. Kalau ende itu di NTT.” terang bang win.
Ah saya tersipu malu. Bang win tahu saja saya tak bisa meniru aksen lokal.
Baru foto-foto sebentar, kami sudah diiring menuju ke sebuah rumah beratap jerami. Rumah ini berdiri agak setengah meter di atas tanah. Di depan rumah duduk seorang kakek yang hanya diam saja melihat orang asing masuk ke rumahnya.
“Di sini pintunya dibuat rendah, sengaja supaya tamu yang masuk harus membungkukkan kepala tanda menghormati tuan rumah.” Kata bang win.
Sedangkan di dalam rumah, hanya ada satu ruang dengan tiang penyangga tepat di tengah. Tak ada jendela. Cuma ada sedikit cahaya matahari yang berhasil menembus bilik bilik. Beberapa peralatan rumah tangga diletakkan sekenanya di lantai dan papan yang dipasang di dinding bilik. Dapur dan kamar mandi berada di luar. Listrik memang telah masuk desa ini, namun sepertinya mereka hanya menggunakannya sekenanya. Tidak tampak juga ada peralatan elektronik lainnya seperti televisi, radio dan lain lain.
Yang membuat khas dari rumah ini adalah aromanya karena lantainya menggunakan campuran kotoran sapi dan tanah liat karena daya rekatnya yang bagus dan katanya dapat menyerap debu. Selain itu jika di musim panas, jadinya tidak banyak nyamuknya, begitu alasan bang win.
“Kami menyebutnya semen empat kaki.” Kata bang win terkekeh kekeh.
Di dalam rumah ini satu keluarga akan tidur terpisah. Wanita di dalam dan pria akan tidur di luar.
“Wah bagus dong biar gak banyak anak” seru saya takjub.
“Ya nggak, soalnya bapaknya masuk terus.” Tawa bang win lagi.
Terlebih lagi jika satu keluarga tersebut belum dikaruniai anak lelaki, maka mereka akan terus mencoba peruntungan karena memiliki anak lelaki sangat penting untuk meneruskan garis keluarga.
Jika anak perempuan keluarga tersebut telah beranjak remaja, maka akan dibuat sekat pemisah di dalam rumah. Bang win melanjutkan, anak perempuan di desa ini juga telah diajari ilmu tenun turun menurun sejak kecil karena skill ini merupakan syarat mutlak sebelum menikah.
Lucunya, suku sasak ende mempunyai budaya tersendiri dalam mencari cinta karena tidak ada tradisi pacaran yang mereka lalui terlebih dahulu. Konon ketika di desa sedang dirayakan sebuah acara, maka para anak gadis akan bertugas membantu urusan dapur misalnya memasak. Nah disinilah kesempatan para jejaka untuk mengincar gadis yang ia sukai. Jika sudah menentukan pilihan maka gadis itu akan disenternya sebagai penanda yang ia suka.
Setelah itu, sang lelaki akan mulai melakukan pendekatan dengan mendatangi rumah si gadis di malam hari.
“Sudah biasa bagi gadis di sini yang mempunyai empat atau lima teman lelaki dalam waktu bersamaan dan itu juga terang terangan” lanjut bang win menerangkan.
Di sinilah time management si gadis harus dimainkan karena sang gadis tidak boleh menolak kunjungan si pria. Jadi jika si gadis sedang di”apel”in cowok pertama lalu datang cowok kedua, walaupun baru beberapa menit si pacar pertama harus meninggalkan rumah si wanita karena waktu mereka telah habis. Begitu seterusnya hingga batas waktu kunjungan terakhir yakni pukul 10 malam telah habis.
Setelah sang gadi menentukan pilihan, lalu kedua sejoli yang telah dimabuk cinta ini sepakat untuk membawa hubungan mereka ke tingkat yang lebih jauh dengan mengadakan penculikan.
“Di sini kita menerapkan sistem kawin lari” kata bang Win.
Di waktu yang telah disepakati, sang pria akan menculik sang gadis dan membawanya ke rumah orang tuanya maksimal selama dua minggu. Aksi penculikan ini tidak boleh diketahui oleh keluarga wanita jika tidak maka mereka bisa menjadi sangat marah hingga memukul si pria.
Setelah itu, barulah nanti sang keluarga pria menghadap keluarga wanita dan pernikahan pun dilangsungkan dan pihak keluarga gadis tidak dapat menolak. Tidak ada pula tradisi seserahan / hantaran yang dilakukan karena bagi mereka hal ini akan sangat memalukan jika dilakukan.
Jika akan menikah dengan orang luar kampung, harus membayar denda yang cukup besar.
Ketika nanti sudah berumah tangga, kain tenun yang dibuat oleh si wanita digunakan sebagai alas atau selimut ketika malam pertama. Selain itu, kebanyakan profesi utama sang suami adalah bertani padi Gogo Ranca, padi khas Lombok yang ukurannya lebih besar dari biasa. Hasil panen ini hanya dapat dinikmati dua kali dalam setahun sehingga tidak ada stok berlebih untuk dijual.
“Makanya yang wanita harus bisa menenun buat tambahan penghasilan” Terang bang win.
Untuk mengakomodasi hasil tenun dan cenderamata lokal, di desa ini dibangun koperasi mini yang menjual barang barang kerajinan bagi pengunjung. Meskipun saya cuma lihat-lihat saja dan tidak beli, tidak ada yang secara halus memaksa. Saya rasa inilah kelebihan desa sasak ende. Belum komersial. Belum banyak yang tahu sehingga belum rame. Kehidupan aslinya masih sangat terasa.
“Mbaknya sudah punya pasangan belum?” tiba tiba bang win bertanya ketika kami sudah akan pulang.
“Belum ada yang nyulik nih bang.” jawab saya.
“Oh tinggal aja di sini beberapa bulan, nanti pasti ada yang nyulik.” Senyum bang win penuh arti.
Menurut ngana?
0 komentar:
Posting Komentar