Utopia di Kampung Teluk Alulu Maratua

Jumat, 29 Januari 2016 1 komentar

Di sebuah siang hari yang terik, saya bersama siswa-siswi SDN 004 Teluk Alulu sedang duduk di bawah pohon rindang yang memayungi kami.
“Kak, di jakarta enak yah?” tanya salah satu siswi tiba tiba.
 “Aku mau ke Jakarta kak lihat gedung tinggi-tinggi.” lanjutnya lagi.
Saya hanya tersenyum. Andai saja bocah kecil ini tahu betapa banyak orang yang berusaha ingin menginjakkan kaki di tanah kelahirannya di sini, Maratua – Kalimantan Timur.

Kampung Teluk Alulu terletak di salah satu pulau tercantik di Indonesia yang berbatasan langsung dengan Filipina. Namun jangankan terpikir untuk menyebrang melongok kehidupan negara tetangga, menuju ke Tanjung Redeb - ibukota Kabupaten Berau - saja mungkin sudah jadi mimpi yang terlalu muluk. Kampung Teluk Alulu yang hanya dapat diakses dengan menggunakan speed boat ini berada di pulau Maratua. Tepat di sisi sebaliknya terdapat Maratua Paradise Resort dan di seberang pulau ini terdapat Nabucco Island Resort, resort milik orang asing.

Bak anak tiri, kampung teluk Alulu punya nasib berlawanan dengan penginapan kelas atas di sekitarnya. Di kala para tamu resort lainnya bermandikan air shower yang tak habis habis, para warga di Kampung Teluk Alulu sangat mengandalkan tampungan air hujan jika tidak ingin menggali sumur atau membeli air. Jika kemarau tak berkesudahan, air bahkan lebih berharga dari emas.
Di kala tamu resort bermandikan temarang lampu menghiasi kamar mereka, masyarakat kampung secara swadaya membagi jatah listrik 800 kw per rumah dengan teknologi pembangkit tenaga surya dan hanya digunakan ketika malam hari.

Pinggiran dermaga di Kampung Teluk Alulu
Tapi tak mengapa, karena saya percaya tamu tamu resort itu belum tentu dapat merasakan slogan “Hidden Paradise” yang sering digaungkan. Di kala mereka menyantap sajian makan malam dengan piring keramik, saya berkesempatan menyantap kima, makanan khas yang berasal dari kerang besar yang dipotong kecil kecil dan kabarnya hanya ada di pulau ini. Rasanya kenyal, gurih, sedikit pedas dan selalu menjadi primadona dalam hidangan. Di kala para tamu resort tidur di King Size Bed, saya suka berlama lama berbaring di atas kapal di dermaga sambil melihat ke ribuan bintang yang bersinar menghiasi langit. Suatu hal langka yang sudah jarang saya lihat terutama karena saya tinggal di kota besar.

Memang tak ada tempat wisata spesifik di kampung ini namun bukankah yang paling membekas dalam ingatan adalah interaksi dengan penduduk lokal?
Di kampung yang jarang sekali ada orang yang berkunjung ini, saya merasa seperti dimanja. Kemanapun saya ingin pergi, selalu dapat meminjam motor warga. Setelah selesai, saya baru sadar mereka hanya meletakkan motor di mana saja beserta kuncinya yang masih menempel.
“Mas, itu kuncinya nggak dicabut?” tanya saya.
“Memangnya mau dibawa kemana?” tanya mas mas itu tertawa melihat reaksi saya cemas.
Rupanya bahkan kata “mencuri” tidak ada dalam kamus mereka. Berkali kali saya sering bertanya kepada orang yang berbeda namun jawabannya mereka tetap sama. Yah mungkin mereka benar karena hanya ada dua pilihan, membawa kabur ke hutan atau ke laut. Mungkin inilah yang menginspirasi saya dan teman teman lainnya untuk tidak mengunci pintu dan jendela ketika bermalam ataupun keluar dari rumah salah satu guru SDN 004 yang kami tumpangi.
Yang berikutnya yang paling membekas bagi saya – dan juga rekan tim lain - adalah ketika pagi pagi kami tiba di SDN 004, anak anak PAUD dan SD sudah berbaris rapi dengan pakaian pramuka terbaiknya dan menyanyikan lagu “Guruku Tersayang” di halaman sekolah. Hati siapa yang tidak trenyuh?
Sambutan sederhana tapi sangat membekas

Senyum ceria siswi SDN 004 Maratua

Mengajarkan cara cuci tangan

Setelah itu, mereka lalu lanjut menarikan Daling, sebuah tari penyambutan tradisional dari Berau. Puluhan siswi dan hanya ada satu siswa berpakaian warna warni mentereng dengan gagahnya meliukkan badannya mengikuti irama musik. Mereka seakan tak peduli panas yang membakar telapak kaki mereka yang telanjang menghentak bumi.
Di penghujung tarian, salah satu siswi menghampiri saya, mengulurkan tangannya untuk mengajak saya menari. Saya tak sampai hati mengatakan tidak. Lagian takutnya kepuhunan – sebuah mitos yang dipercaya masyarakat di sini jikalau menolak sesuatu maka akan ada kesialan yang bakal menimpa- Lagipula siapa yang sanggup menolak uluran tangan mungil mereka yang tulus?

Bersama Dirjen Kemristekdikti dan tim Menyapa negeriku Berau
Balik lagi ke pertanyaan siswi tadi. Enak atau tidak adalah relatif. Saya ingin bilang pada siswi tersebut bahwa dimanapun enak tergantung dari cara kita melihatnya. Bahkan saya pun bisa merasakan kenikmatan yang lain di Kampung Teluk Alulu. Rasa nikmat melihat warga bermain voli di sore hari. Rasa damai melihat anak anak dapat bermain dan berkeliaran bebas karena semua orang saling mengenal dan menjaga. Rasa tenang karena tak banyak penduduk yang memegang gadget. Rasa bangga melihat guru-guru SM3T mengabdikan dirinya untuk mengajarkan generasi penerus nusa dan bangsa.

Maka itu, berlebihankah jika saya menyebut tempat ini sebagai Utopia?

Info :
Tulisan ini merupakan hasil dari pengalaman saya mengikuti #MenyapaNegeriku, sebuah program partisipasi publik dari Kemristekdikti dimana para peserta berkesempatan untuk memotret wajah pendidikan serta berbagi motivasi dan keahlian masing masing di sekolah – sekolah di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal di Indonesia.


Simak video perjalanan lengkap kami di Berau yah :

Hijaunya Kebun Raya Bogor

Rabu, 20 Januari 2016 1 komentar

Kebun Raya Bogor yang awalnya hanya merupakan taman belakang istana kepresidenan ini kini bertransformasi menjelma menjadi icon dan salah satu tempat wisata andalan kota Bogor.
Kebun Raya Bogor
Pintu Masuk di Gerbang Utama Kebun Raya Bogor
Dari gerbang utama, saya masuk ke kawasan Kebun Raya Bogor. Karena luas banget (70-an hektar) dan ini baru pertama kalinya, saya jadi bingung harus memulai dari mana. Untuk menghemat tenaga juga, akhirnya saya memilih untuk naik tur mobil keliling kebun ini aja.
Kebun Raya Bogor
Naik mobil wisata tur keliling kebun raya
Starting pointnya tepat di samping Raffles Place di gerbang utama. Ingat hanya ada di sini yah karena tur mobil ini gak bisa hop on hop off atau menaikkan / menurunkan penumpang di tengah jalan. Sambil menunggu tur dimulai, coba cek Raffles Place ini karena tugu ini ternyata spesial. Dibangun oleh Sir Thomas Stamford Raffles, seorang letnan gubernur di pulau Jawa (1811-1816) sebagai kenangan akan istrinya yang meninggal pada tahun 1814 di usia 43 tahun karena malaria. Di dalam tugu ini juga ada kata kata puitis dari si mendiang olivia.
Kebun Raya Bogor
Raffles Place Kebun Raya Bogor
Tur Keliling dengan mobil terbuka ini dipandu oleh sang supir yang bercerita lewat microphone. Katanya kebun raya ini awalnya didirikan dengan tujuan untuk penelitian tumbuh-tumbuhan dari hampir semua jenis yang ada di Indonesia. Bahkan awal mulanya bibit kelapa sawit itu adanya di sini dulu sebelum akhirnya merajalela di Sumatra dan Kalimantan. Di sini banyak terdapat taman taman khusus dimana tanaman dikelompokkan menurut jenisnya seperti taman Mexico (khusus kaktus), taman anggrek, taman palem, taman bambu, taman khusus tanaman air, taman khusus pepohonan besar besar. Saking besarnya ada yang namanya pohon jodoh yang tinggi banget dan besar yang katanya dinamakan pohon jodoh karena meski dari dua jenis berbeda mereka tumbuh berdampingan dan menyerupai satu sama lain. ugh so sweet!

Sekarang, Kebun Raya Bogor yang diurus oleh LIPI tidak serta merta cuma menjadi laboratorium raksasa di Indonesia tapi juga sebagai tempat wisata dan edukasi andalan di kota hujan ini. Selain melihat tanaman, ada beberapa spot yang diincar para pengunjung seperti beberapa yang paling populer di antaranya adalah jembatan gantung yang berwarna merah (yang gak sempat saya abadikan), musem zoologi dimana berbagai jenis hewan diawetkan agar kita bisa melihat mereka dari balik kaca (hiks!), ada juga makan belanda buat yang doyan serem serem, taman prisma yang kayak taman taman kastil eropa dengan sisi kanan-kiri sama besar, kolam gunting (kalo dari atas bentuknya kayak gunting) dan yang paling hits adalah istana kepresidenan yang dibatasi dengan kolam.
Istana Raya Bogor
Di depan rumah pak Jokowi


Kebun Raya Bogor
Kolam gunting di Kebun Raya Bogor

Taman Prisma
Taman Prisma

Kebun Raya Bogor
Kolam gunting penuh teratai
Habis keliling keliling, saya berasa agak-agak De Javu gitu.
Kayaknya pernah deh muter muter gini dimana yah?
Kayaknya pernah deh liat yang ijo-ijo seger gini. Tapi di mana yah?
Aha, saya tau rasanya suasana begini kayak lagi di taman-taman yang ada di Singapura. Bersih. Terawat. Luas. Sekeliling hijau. Fasilitas pun sangat mumpuni. Nggak malu-maluiin deh buat dipamerin. Jarang - jarang kan Indonesia punya ruang terbuka yang begitu luas dan semua lapisan masyrakat bisa memakainya. Ada yang lagi shooting video, ada yang lagi sesi pemotretan, ada yang jogging lari pagi/sepedaan/olahraga, ada yang lagi bikin acara kondangan di restorannya, ada yang cuma tidur leyeh leyeh aja sementara anaknya bebas berkeliaran guling guling di permadani hijau. Damainya....

**
Info :
Tiket Masuk : Rp. 14.000
Tur naik mobil : Rp.15.000 (20 menit) baru akan jalan min ada 7 orang.
Sewa sepeda : Rp.15.000 (1 jam)

Tips :
1. Bawa Air minum dan juga makanan. Kalau sekalian mau piknik, monggo bawa rantang, tikar, biar habis makan siang bisa bobo siang sekalian.
2. Kebun Raya Bogor punya area terbuka yang luas dan dapat dipakai oleh masyarakat umum. Sewaktu saya datang di pintu gerbang yang lain, seperti ada yang lagi bikin outbond kecil kecilan. Kalau mau bikin acara, gratis loh katanya namun sepertinya harus datang pagi pagi buat me-reserved tempat biar gak keduluan yang lain.
3. Di sini juga ada fasilitas lain seperti Lapangan tenis yang bisa disewa.
4. Kebun raya bogor juga adalah pusat pembiakan tanaman langka, jadi bagi penggemar tumbuhan kalau butuh tanaman obat atau yang langka dan gak tahu mau cari kemana lagi, coba tanya di sini kali aja stoknya ada jadi bisa dibeli. Selain itu, ada juga bungga rafflesia tapi sewaktu saya datang belum berbunga.
5. Mobil bisa masuk kecuali tanggal merah (cek pintu gerbangnya yah) dan parkir dimana saja. Asik sih bisa keliling keliling puas. Namun harap parkir dengan tertib agar tidak menghalangi jalan.
6. Jangan lupa minta peta kebun raya bogor ketika di pintu masuk sehingga tidak kebingungan arah.

Segarnya Air di Curug Cigamea

Selasa, 19 Januari 2016 1 komentar

Tetiba saya lagi pengen lari dari Ibukota. Mungkin karena beberapa weekend terakhir saya santai mulu jadi saya berfikir kayaknya asik nih kalau main main ke tetangga, dan Bogorlah yang terpilih setelah ada teman yang bersedia membawa saya keliling di kota hujan ini.

Selain Kebun Raya Bogor yang menjadi icon yang harus dikunjungi, saya dan teman saya mencoba salah satu wisata alamnya yakni Curug di Gunung Salak. Awalnya teman saya mengusulkan Curug Seribu, yang diklaim lebih indah, lebih sepi tapi sayangnya juga lebih jauh dan lebih susah medannya ditambah bonus lebih mistis pastinya. Berhubung saya penakut dan hari mendung (sempat merasakan tetesan air turun dari langit juga) maka saya memutuskan cukuplah kami ke Curug yang paling dekat saja.

Dari Bogor, kami berkendara motor sepertinya ada 2 jaman lebih deh hingga tiba di gerbang Gunung Salak lalu kami dimintaiin uang retribusi yang nggak jelas harusnya berapa (sekitar 24rb kalau tidak salah inget). Dari pintu gerbang tersebut, Curug Cigamea adalah yang paling pertama kami temui. Ya wes kiri bang!

Parkir motor, lalu kami pun sampai di pintu masuk Curug Cigamea dan pemandangan hijau langsung menyergap pandangan mata saya. Terdapat tangga batu di sepanjang pinggir bukit yang akan menunjukkan kami jalan menuju ke bawah air terjun. Di sepanjang tangga menuju ke bawah, banyak orang orang yang berjualan mulai dari warung kecil, gorengan, terapi fish spa(!), oleh oleh, tongsis, hingga ada ibu ibu yang duduk meminta minta juga. Pas di tengah perjalanan, kami juga bertemu segerombolan monyet liat yang hilir mudik tak takut manusia. Justru saya yang cemas karena saya inget membawa pisang dalam tas. Atau mungkin takut si monyet mau merampas kamera saya. Untungnya tidak ada hal buruk yang terjadi dan saya (bergaya) sok tenang ketika melewatinya.

Curug Cigamea
Jalan turun menuju Curug Cigamea
15 menit kemudian, badan yang mulai tak terlatih hiking turun ini sampai juga di dasar lembah dimana suara air terjun sudah memanggil manggil. Rupanya ada dua air terjun yang ada di sini. Pertama yang paling dekat ketika kami datang (Curug Cimudal), airnya lebih kencang mengalir di bebatuan hitam. Semakin dekat dengan curug ini, terasa butiran-butiran air yang muncrat ke wajah disertai angin dingin. Di bawah curug, airnya tertampung di bawah membentuk kolam cetek dan dikelilingi bebatuan. Beberapa orang memilih untuk berenang karena masih aman dan tidak terlalu dalam.
Curug Cigamea
Curug Cigamea

Curug Cigamea
Curug Cigamea
Tepat di samping air terjun di atas, ada air terjun yang lain yang lebih kecil dan inilah yang namanya Curug Cigamea. Di bawahnya juga terdapat kolam kecil berwarna biru. Katanya sih agak dalam bisa buat berenang namun saya melihat ada semacam tali pembatas agar tidak dilewati, namun tetap saja tak ada gunanya karena banyak orang yang tetap masuk. Saya sendiri karena liat orang sudah tumpah ruah di sana tidak tertarik mendekat dan menyeburkan diri.
Curug Cigamea
Air terjun lainnya di Curug Cigamea
Mendingan saya berjalan menjauh dari curug dan mengikuti aliran air. Jauh dari keramaian, saya memilih duduk-duduk santai di bebatuan sambil setidaknya bisa mendengar gemericik air. Beberapa burung lewat mondar mandir, terkadang seperti tak takut menubruk saya. Di sisi kiri walaupun dipenuhi dengan bilik (sisi belakangnya) berbagai warung dan ada juga toilet namun sudah cukup untuk memberikan perasaan tenang dan damai. Kalau mau bermain airnya, di sini juga bisa loh walau cuma untuk bilas bilas saja. Airnya dingin dan jernih lumayan buat saya cuci muka dan main air.

Tempat yang asik justru menjauhi curugnya
Saya hanya bertahan sejam karena sudah mulai lapar terlebih takut kehujanan. Sewaktu mau naiknya, barulah di sini terasa perjuangannya. Saya dan teman saya (mantan pendaki gunung) sampai ngos-ngosan mendaki tangga batu. Fish spa yang sempat kami liat sepertinya sangat menggoda untuk melemaskan urat urat kami yang tegang namun kami skip aja. Monyet-monyet sudah tidak tampak lagi namun hebatnya ibu-ibu pengemis masih ada ketika saya mau lewat. Akhirnya, karena iba saya memberikan receh kepada ibu itu sambil berharap didoakan "pendakian" kami berjalan mulus. Mulus sih setelah kami memutuskan istirahat terlebih dahulu dan menghabiskan satu botol air minum.

Ya ampun padahal kalau dibilang jaraknya tidak seberapa tapi kami sudah banjir keringat. Untung banget kami tidak memutuskan ke Curug Seribu yang konon perjuangannya harus 3x lipat dari ini. FIuuh! *urut-urut betis*

Info :
Tiket Masuk Curug : Rp.9.000
Asuransi : Rp.1.000
Uang parkir motor : RP.5.000

Tips :
1. Makan kenyang dulu sebelum sampai ke sini karena pilihan makan di warung yang ada palingan hanya ada mi instan, bakso, nasi goreng atau gorengan saja, dan tentunya harganya mahal. Jangan lupa membawa air minum juga!
2. Jam 17.30 sudah harus naik ke atas karena kalau malam apa gak ngeri? Nggak ada lampu loh!
3. Kalau musim kering, debit airnya lebih sedikit jadi mungkin kurang indah di foto. Namun kalau datang waktu musim hujan dan kebetulan hujan, hati hati karena medan hiking lebih licin dan harus hati-hati.
4. Jangan membuang sampah dong, beberapa tempat sudah mulai nampak pemandangan yang gak mengenakkan karena ini.

Eksotisme Timor Tengah Selatan

Kamis, 14 Januari 2016 0 komentar

Bukan. Ini bukan Timur Tengahnya Middle East.
Bukan. Ini juga bukan Timurnya Timor Leste.
Yang saya bakal ceritakan di sini adalah kabupaten Timor Tengah Selatan di provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Jika berkendara dari Kupang, perjalanan dengan mobil akan memakan waktu minimal 2,5 jam. Namun usahakan tidak tertidur karena pemandangannya sangat cukup untuk membuat mata terbelalak. Mulai dari tanah coklat kering dan tandus di kupang, tidak terasa perlahan namun pasti pemandangan berubah menjadi hijau dan bahkan merah meriah ketika melewati pohon flamboyan. Mulai dari panas dan teriknya kupang, perlahan tapi pasti saya tidak butuh AC mobil lagi karena begitu tiba di Soe (ibukota kabupaten Timor Tengah Selatan) udara menjadi sejuk. Tempat ini layaknya puncak bagi kota Jakarta karena suhunya yang adem dikarenakan terletak di dataran tinggi. Tak heran bahwa selama perjalanan saya banyak melewati bukit serta belokan curam.
Bola Palelo
Berhenti sejenak untuk melihat hijau dan ademnya Timor Tengah Selatan
Timur Tengah Selatan adalah paket komplit untuk berwisata. Mulai dari pantai terbaik hingga gunung tertinggi seantero pulau Timor, di sinilah tempatnya. Beberapa tempat yang beruntung saya jelajahi adalah :
1. Air Terjun Oehala
Air terjun yang terkenal dengan 7 tingkatnya ini akan memberikan suatu pemandangan berbeda di tanah yang kebanyakan warganya susah mencari air untuk kebutuhan hidup sehari hari. Ironi yah, nggak heran di sekitar air terjun ada pompa buat nyedot air :p

Untuk mencapai air terjun ini, saya harus menuruni tangga batu hingga kira kira 10 menit ( kalau naiknya bisa ngos-ngosan 2 kali lipatnya) hingga bertemu dengan gemericik air jernihnya. Airnya di kala pagi debitnya sepertinya lebih kencang. Airnya cukup jernih dengan bebatuan yang beberapa diselimuti lumut sehingga agak licin sehingga harus hati-hati agar tidak terjatuh.
Air Terjun Oehala
Air Terjun Oehala
2. Pantai Kolbano & Pantai Oetune
Pantai Kolbano bukan pantai biasa namun pantai yang dilimpahi batu batu beraneka jenis dan warna layaknya batu di taman atau kolam.
Pantai Kolbano
Batu "Monyet"  dan Pantai Kolbano

Pantai Kolbano
Pantai Kolbano dari Atas batu Monyet

Pantai Kolbano
Batu beraneka warna dan bentuk di Pantai Kolbano
Sedangkan di Pantai Oetune unik karena banyak gumuk gumuk pasir.
Pantai Oetune
Gumuk Pasir di Pantai Oetune

Pantai Oetune
Pantai Oetune
3. Fatumnasi
Fatumnasi adalah sebuah desa di Timor Tengah Selatan yang cukup sulit dijelajah karena kondisi jalan yang berbatu dan memakan waktu kurang lebih 2 jam untuk mencapainya. Sedangkan di sana satu satunya akomodasi yang tersedia adalah Lopo Mutis, sebuah penginapan home stay yang dikelola langsung oleh ketua adat dan kepala suku di Fatumnasi yakni, Bapak Mateos Anin. Setiap pengunjung yang ingin menginap akan diberikan semacam ritual selamat datang di mana akan ada tari tarian dan penyambutan. Awalnya ada sepasukan anak anak yang menari di luar, lalu ketika kami masuk ke sebuah bangunan open-space lalu giliran para ibu-ibunya yang menari mengelilingi tiang penyangga bangunan. Terkadang mereka mengalungkan kain tenun kepada teman teman saya yang artinya harus ikut menari. Tak perlu takut hanya perlu mengikuti gerakan sederhananya dan tersenyum :) Isn't that easy?

Lopo Mutis
Bapak Kepala Suku & Adat, Mateos Anin
Lopo Mutis menggunakan rumah tradisional NTT yang berbentuk kerucut atau disebut juga Lopo. Rumah yang banyak tersebar di seantero NTT ini dalamnya tidak ada apa apa selain tempat berbaring dan WC terpisah di luar. Kabarnya di dalamnya cukup hangat untuk melawan hawa dingin Fatumnasi. Dan begitu siang, lopo akan mulai menjadi panas dan saat itulah diharapkan orang di dalamnya akan bangun dan mulai berkegiatan di luar hingga malam ketika sudah dingin kembali lagi ke lopo tersebut.
Lopo Mutis
Selfie dengan Lopo, Rumah Tradisional NTT di Lopo Mutis Homestay

Biaya Menginap hanya Rp.100.000 / orang dimana satu lopo bisa ditiduri oleh 3 orang. Itupun terbilang sangat murah karena tidak ada tempat yang menyediakan tempat makan, maka harga ini sudah termasuk makan 3x sehari. Murahnya keterlaluan deh!

Untuk oleh oleh, di sini juga tersedia tenun khas asli para wanita lokal yang membuat. Biasalah kalo tradisi di sini wanita harus bisa menenun sebelum menikah sementara prianya harus bisa berkebun. Harga tenun yang kecil berkisar Rp.200.000 dan yang besar bisa mencapai 1 juta. Saya rasa sepadan dengan hasil kerja mereka berbulan bulan. Untungnya ketika penyambutan, saya diselempangi sebuah kain tenun sehingga gak perlu membeli lagi. Selain itu ada juga beberapa cenderamata unik seperti tempat siri dan kapur (karena mereka juga masih doyan makan sirih), perhiasan dan macam macam.

Berada di sini, jangan lupa untuk mengunjungi Cagar Alam Mutis. Ibarat sudah kepalang tanggung berada di ujung Fatumnasi, tak patutlah kalau sampai tidak mampir ke Cagar Alam Mutis karena di sana Anda akan tercengang melihat hutan bonsai serta pemandangan damai hewan hewan liar berkeliaran. Kalau jiwa petualang anda top markotop, daki juga gunung mutis untuk melihat bukit marmer yang tersohor itu yah.
Hutan Bonsai
Hutan Bonsai
Masih kurang? Yang bener? Karena untuk menjelajahi tempat-tempat di atas saya membutuhkan waktu 2 hari full loh! Cobaiin dulu deh kamu ke sini. Ini benar benar petualangan yang sesunguhnya!
Fatumnasi
Offroad seru di Cagar Alam Mutis

Pesona Cagar Alam Mutis

Selasa, 12 Januari 2016 0 komentar

Berada di ketinggian 1500-2500 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata rata 12-19 Celcius, Cagar Alam Mutis yang berada di Fatumnasi ini merupakan daerah terdingin di antara panas dan teriknya Nusa Tenggara Timur. Saking luasnya, sebenarnya cagar alam ini masuk ke dalam kawasan Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Tapi yang paling mudah diakses yah melalui Fatumnasi yang berada di kabupaten Timor Tengah Selatan.

Berkendara lebih dari 2 jam dari Soe (Ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan), awalnya jalanan mulus aja hingga setengah perjalanan, jalan aspal pun mulai berganti jalan berbatu, turunan dan tanjakan curam. Belum lagi kadang di samping ada jurang terjal yang semakin bikin deg-degan. Kami sempat berhenti di Kilo 12, sebuah daerah yang langsung berbatasan dengan lembah di mana bisa melihat jurang langsung dan perbukitan di ujung sana. Lalu kami berhenti lagi di Fatukolen, sebuah batu raksasa purba yang terongok di sebuah tanah luas. Biasanya anak anak lokal di sini menjadikannya tempat main dan manjat-manjat sih.
Fatukolen
Fatukolen dan mobil 4WD siap buat Offroad
Saat itu saya dan teman teman travel blogger indonesia untungnya mengendarai mobil 4WD. Sungguh gak kebayang kalo naik motor, bisa longsor deh pantat!
Berkali kali saya bergumam, "Ya ampun emangnya seindah apa sih tempat yang bakal dikunjungi? Kok nggak sampai-sampai?"

Kala itu saya hanya bisa berpegangan erat (setelah sekali jatuh terjerambab sewaktu mobil menikuk di penanjakan curam. Oh my butt!) di atap mobil 4WD. Bak belakang mobil diisi saya dan 6 cowok laiinya. Bayangkan! Duduk aja susah, jadinya saya lebih memilih berdiri di atas mobil yang tak bisa berjalan tanpa sedikit guncangan ini.

Untungnya sepanjang pemandangan sangat indah. Kami melewati pemukiman penduduk dengan rumah khas mereka dan setiap kali ada warga, saya bak miss universe selalu melambaikan tangan dan menyapa mereka. Tak pernah sekalipun saya dicuekin. Selalu mereka balas dengan teriakan yang lebih kencang. Ada sih beberapa yang malu-malu tapi seengaknya mereka balas tersenyum. Ah Senangnya!

Di balik jauh dan susahnya mencapai tempat ini, selalu ada hikmahnya yakni cagar alam ini masih sangat asri dan terjaga. Benar benar perjalanan yang membuat saya masuk ke dunia yang berbeda! Cagar Alam Mutis ini didominasi oleh pohon Ampupu (Eucaliptus Urophylla). Pohonnya besar-besar, tinggi dan sudah berusia cukup lama bahkan hingga ratusan tahun. Buktinya, beberapa pohon sudah terlihat tua dan menjadi bolong tengahnya. Agak ke dalam sedikit, kali ini saya disuguhkan dengan bonsai hidup raksasa. Kalau biasanya bonsai hanya tumbuh dari pot pot munggil, bonsai di sini seperti raja. Bebas memekarkan dirinya sendiri. Bonsai ini juga diselimuti dengan lumut lumut hijau yang pekat. Konon, katanya hanya ada dua di dunia salah satunya yah di sini. Tak jarang, kadang ada peneliti yang mampir ke sini untuk melihat fenomena alam yang menakjubkan ini.

Hutan Bonsai
Hutan Bonsai dan grup TBI
Hutan Bonsai
Hutan Bonsai
Selain itu, pemandangan jamak nan indah yang dapat ditemui adalah sekumpulan kuda liar yang beruntung banget hidup di tempat secantik ini. Mereka pun makan rumput dengan damainya. Banyak yang bilang pemandangan indah ini semacam di Eropa. Namun sayangnya karena saya datang sewaktu musim kering kerontang, gambaran itu belum muncul di benak saya. Namun jika musim hujan turun, rumput menghijau dan pohon ini melahirkan dedaunannya, saya setuju bahwa tempat ini akan berubah menjadi permadani hijau. Tapi kalau musim hujan, beberapa jalan yang rusak parah akan sulit (bahkan mustahil) dilewati dengan mobil sekelas 4WD pun.
Cagar Alam Mutis
Cagar Alam Mutis dan jalan offroad
Kekhasan lainnya dari cagar alam ini ialah adalah fauna khas endemik yang dilindungi tapi saya tidak beruntung karena yang saya jumpai hanyalah kawanan kuda dan sapi.
Cagar Alam Mutis
Hewan hewan nyantai
Lalu yang sebetulnya menjadi primadona utama dari cagar alam ini adalah Gunung Mutis, gunung tertinggi sedaratan pulau Timor. Dengan tinggi 2.427 meter, gunung ini bukan sembarang gunung. Sekilas gunung yang menjulang ini seperti gunung biasanya, hijau tertutup tumbuhan. Namun jika kita kupas, gunung mutis itu layaknya bongkahan batu marmer raksasa. Konon, kualitas marmernya nomor wahid sehingga berbondong bondong lah perusahaan asing mengeruknya habis habisan. Seperti yang diduga, setelah bertahun tahun alam yang masih perawan itu mulai kehilangan kesuciannya. Air sungai yang menjadi sumber vital masyarakat mulai terkontaminasi dan lingkungan perlahan rusak. Akhirnya, masyarakat mulai sadar sebelum semua terlambat. Mereka menyuarakan pendapat mereka hingga bisa membuat perusahaan perusahaan itu hengkang dan mengubah daerah ini menjadi cagar alam sehingga tidak dapat dirusak kembali.

Sayang seribu sayang hari sudah menjelang maghrib dan kami tidak punya rencana untuk ke sana karena perjalanan ke gunung mutis masih sangat jauh lagi.

**
Balik lagi ke pertanyaan saya semula "Seindah apa sih tempat yang saya bakal kunjungi?"
Ternyata saya sudah bisa menjawabnya sendiri. Indah banget! Saya malah masih belum puas karena kami belum sampai ke puncak guning mutis dan saya belum melihat langsung batu marmer yang diperebutkan orang orang tersebut.

Kalau begini, 4 jam di jalan pun saya tahan deh. Namun pas pulang, saya sudah tak sanggup berdiri di belakang 4WD apalagi udaranya yang dingin udah mulai membuat saya mengigil. Akhirnya saya memilih tepar di bangku belakang mobil Fortuner saja. Ah usia memang tidak bisa bohong yah? #Eh?

Budaya Suku Sasak Ende di Lombok

Senin, 11 Januari 2016 0 komentar

Pemandu cowok itu mengenakan kaos polo hitam, sarung dan sandal jepit. Begitu melihat mini bus kami terparkir, dia langsung meloncat turun dari berugak (bale bale) dan menyalami saya dan rombonganku satu per satu.
“Selamat datang di desa Ende” sambut dia.

Desa Sasak Ende
Welcome to Desa Sasak Ende
Si pemandu – sebut saja bang win - mengaku asli dari desa ini namun sudah tak tinggal di kampung kelahirannya.
“Soalnya disini tidak boleh mendirikan bangunan modern” kilahnya. Akhirnya dia yang telah berkeluarga ini pun memutuskan pindah tak jauh dari desa ini.

Desa Ende merupakan salah satu desa wisata yang masih menjunjung tinggi nilai dan istiadat suku Sasak. Desa yang berlokasi di kabupaten Lombok Tengah ini dihuni lebih kurang 130 orang. Menurut bang win, leluhur mereka adalah perantau dari tanah Jawa.
“Makanya bahasa sasak sama Jawa itu ada miripnya” kata bang Win.
Desa Sasak Ende
Pemandangan biasa di desa ini
Kami berjalan melalui tanah setapak dan disapa sapi sapi malas yang sedang mengunyah rumput hijau sedangkan ekornya sibuk mengibas lalat di badannya. Plang tanda pengenal desa ini menyambut kami.
“Bacanya ende, bukan ende. Kalau ende itu di NTT.” terang bang win.

Ah saya tersipu malu. Bang win tahu saja saya tak bisa meniru aksen lokal.
Baru foto-foto sebentar, kami sudah diiring menuju ke sebuah rumah beratap jerami. Rumah ini berdiri agak setengah meter di atas tanah. Di depan rumah duduk seorang kakek yang hanya diam saja melihat orang asing masuk ke rumahnya.
Desa Sasak Ende
Istirahat dulu ah
“Di sini pintunya dibuat rendah, sengaja supaya tamu yang masuk harus membungkukkan kepala tanda menghormati tuan rumah.” Kata bang win.

Sedangkan di dalam rumah, hanya ada satu ruang dengan tiang penyangga tepat di tengah. Tak ada jendela. Cuma ada sedikit cahaya matahari yang berhasil menembus bilik bilik. Beberapa peralatan rumah tangga diletakkan sekenanya di lantai dan papan yang dipasang di dinding bilik. Dapur dan kamar mandi berada di luar. Listrik memang telah masuk desa ini, namun sepertinya mereka hanya menggunakannya sekenanya. Tidak tampak juga ada peralatan elektronik lainnya seperti televisi, radio dan lain lain.

Yang membuat khas dari rumah ini adalah aromanya karena lantainya menggunakan campuran kotoran sapi dan tanah liat karena daya rekatnya yang bagus dan katanya dapat menyerap debu. Selain itu jika di musim panas, jadinya tidak banyak nyamuknya, begitu alasan bang win.
“Kami menyebutnya semen empat kaki.” Kata bang win terkekeh kekeh.

Di dalam rumah ini satu keluarga akan tidur terpisah. Wanita di dalam dan pria akan tidur di luar.
“Wah bagus dong biar gak banyak anak” seru saya takjub.

“Ya nggak, soalnya bapaknya masuk terus.” Tawa bang win lagi.

Terlebih lagi jika satu keluarga tersebut belum dikaruniai anak lelaki, maka mereka akan terus mencoba peruntungan karena memiliki anak lelaki sangat penting untuk meneruskan garis keluarga.

Jika anak perempuan keluarga tersebut telah beranjak remaja, maka akan dibuat sekat pemisah di dalam rumah. Bang win melanjutkan, anak perempuan di desa ini juga telah diajari ilmu tenun turun menurun sejak kecil karena skill ini merupakan syarat mutlak sebelum menikah.

Lucunya, suku sasak ende mempunyai budaya tersendiri dalam mencari cinta karena tidak ada tradisi pacaran yang mereka lalui terlebih dahulu. Konon ketika di desa sedang dirayakan sebuah acara, maka para anak gadis akan bertugas membantu urusan dapur misalnya memasak. Nah disinilah kesempatan para jejaka untuk mengincar gadis yang ia sukai. Jika sudah menentukan pilihan maka gadis itu akan disenternya sebagai penanda yang ia suka.

Setelah itu, sang lelaki akan mulai melakukan pendekatan dengan mendatangi rumah si gadis di malam hari.
“Sudah biasa bagi gadis di sini yang mempunyai empat atau lima teman lelaki dalam waktu bersamaan dan itu juga terang terangan” lanjut bang win menerangkan.

Di sinilah time management si gadis harus dimainkan karena sang gadis tidak boleh menolak kunjungan si pria. Jadi jika si gadis sedang di”apel”in cowok pertama lalu datang cowok kedua, walaupun baru beberapa menit si pacar pertama harus meninggalkan rumah si wanita karena waktu mereka telah habis. Begitu seterusnya hingga batas waktu kunjungan terakhir yakni pukul 10 malam telah habis.

Setelah sang gadi menentukan pilihan, lalu kedua sejoli yang telah dimabuk cinta ini sepakat untuk membawa hubungan mereka ke tingkat yang lebih jauh dengan mengadakan penculikan.
“Di sini kita menerapkan sistem kawin lari” kata bang Win.

Di waktu yang telah disepakati, sang pria akan menculik sang gadis dan membawanya ke rumah orang tuanya maksimal selama dua minggu. Aksi penculikan ini tidak boleh diketahui oleh keluarga wanita jika tidak maka mereka bisa menjadi sangat marah hingga memukul si pria.

Setelah itu, barulah nanti sang keluarga pria menghadap keluarga wanita dan pernikahan pun dilangsungkan dan pihak keluarga gadis tidak dapat menolak. Tidak ada pula tradisi seserahan / hantaran yang dilakukan karena bagi mereka hal ini akan sangat memalukan jika dilakukan.

Jika akan menikah dengan orang luar kampung, harus membayar denda yang cukup besar.

Ketika nanti sudah berumah tangga, kain tenun yang dibuat oleh si wanita digunakan sebagai alas atau selimut ketika malam pertama. Selain itu, kebanyakan profesi utama sang suami adalah bertani padi Gogo Ranca, padi khas Lombok yang ukurannya lebih besar dari biasa. Hasil panen ini hanya dapat dinikmati dua kali dalam setahun sehingga tidak ada stok berlebih untuk dijual.
“Makanya yang wanita harus bisa menenun buat tambahan penghasilan” Terang bang win.

Desa Sasak Ende
Rumah pada umumnya
Untuk mengakomodasi hasil tenun dan cenderamata lokal, di desa ini dibangun koperasi mini yang menjual barang barang kerajinan bagi pengunjung. Meskipun saya cuma lihat-lihat saja dan tidak beli, tidak ada yang secara halus memaksa. Saya rasa inilah kelebihan desa sasak ende. Belum komersial. Belum banyak yang tahu sehingga belum rame. Kehidupan aslinya masih sangat terasa.
Desa Sasak Ende
Menjemur padi di depan rumah
“Mbaknya sudah punya pasangan belum?” tiba tiba bang win bertanya ketika kami sudah akan pulang.

“Belum ada yang nyulik nih bang.” jawab saya.

“Oh tinggal aja di sini beberapa bulan, nanti pasti ada yang nyulik.” Senyum bang win penuh arti.

Menurut ngana?

Roadtrip Keliling Pulau Semau Seharian

Sabtu, 09 Januari 2016 0 komentar

Salah satu highlight perjalanan saya dan teman-teman travel blogger #ExploreTheDiversity di Nusa Tenggara Timur adalah mengunjungi pantai indah di Pulau Semau. Pulau kecil ini tepat berada di sisi utara (barat) nya pulau Timor. Kalau dari kupang, jika ingin ke pulau ini bisa naik kapal dari pelabuhan Tenau. Pelabuhan ini bisa langsung dimasuki pake motor, lalu bawa motonya hingga ke ujung dermaga biar nanti motornya diangkut ke kapal lalu dibawa hingga ke Pulau Semau. Iyah persiapan kami sudah begitu siapnya menghadapi minimnya fasilitas di Pulau Semau.

Begitu perahu merapat di dermaga pulau Semau, motor motor kami pun diturunkan. Karena buta arah, kami didampingi seorang guide lokal, pak boy namanya.

Perhentian kami pertama adalah Pantai Otan.
Tiba tiba...
Saya hasrat BAB.
Sedangkan beberapa teman sudah mulai buka baju dan pamer bikini.
Beberapa lagi duduk duduk menikmati birunya laut dan langit.

Duh, Saya mau eek!
Padahal sewaktu di Kupang saya sudah coba beberapa kali mau poop tapi gak mau keluar. Mungkin dia menunggu momen dikeluarkan di tempat yang indah?
Bolak balik saya melihat sekitar pantai. Yang ada hanya bangunan rusak, semak yang tidak terlalu tinggi, kapal dan pasir putih. Pak boy dengan santai menunjuk ke arah "alam liar" di sekitar pantai ketika saya bertanya tentang toilet.

Saya pun pasrah, berusaha mengalihkan perhatian dengan makan siang dulu (lah!). Selesai makan, tentu hasrat eek makin memuncak. Pencarian WC masih berlanjut. Saya pun bertanya ke bapak-bapak yang sedang santai di pendopo. Mereka juga bilang tidak ada fasilitas seperti itu dan kalau pun mau ya pinjem WC ke kampung sebelah (glek!)

Ah tahan saja lah, Biasanya kan saya juga gitu (eh!). Lalu saya pun ke pantai dan foto - foto.
Pantai Otan
Pantai Otan sambil berusaha menahan sakit perut
Tapi sepertinya perut saya tidak mau diajak kompromi. Saya mengadu lagi ke pak boy. Si bapak cuma menyarankan menunggu ketika kami selesai di sini nanti sambil mencari wc di pantai berikutnya. Saya pun meringis, duduk terdiam sambil mengelus perut.

Selang beberapa menit, saya hampiri (lagi!) pak boy.
"Pak tolong dong coba anterin ke kampung sebelah cari WC." mohon saya.
Mungkin bapaknya kasihan sama saya. Yang laen udah nyebur, baju saya aja masih kering. Yang lain udah salto di pasir, badan saya mau lurus aja susah.

Akhirnya pak boy rela membonceng saya mencari WC entah berantah.
Lima menit dari pantai kami menemukan sebuah gereja namun sialnya tidak ada orang dan terkunci.
Lanjut..
Kami menemukan lagi sebuah sekolah dasar. Kami cari penjaganya dan memanggil manggil tapi tidak ada sahutan. Pak boy pun menemukan sebuah bangunan kecil gelap di pojok yang ternyata toilet. Sialnya, tidak ada air.
Lanjut...
Daripada kebingungan, pak boy memutuskan sekalian saja mampir ke rumah orangtuanya. Sesampainya, di rumah mereka terkejut juga meilhat si anak membawa gadis cantik yang cuma mau numpang WC. Saya tak enak banget sebenarnya sewaktu memohon permisi kepada orang tuanya, tapi lebih gak enak lagi kalau saya sampai kecipirit.

Begitu masuk di WC, memang rasanya ini bukan hari baik saya. Naas sekali rupanya sudah ada penghuni kotoran yang nangkring di WC jongkok tersebut. Cepat cepat saya siram agar memori saya tak langsung otomatis merekam detail, warna dan bau dari kotoran tersebut. Eew!

Setelah yakin tidak ada jejak tertinggal pengguna sebelumnya, saya pun langsung jongkok dan OMG! susah dideskripsikan betapa lega dan bahagianya jiwa raga ini. Berasanya benar benar di ujung surga. Lama saya berdiam di sana memastikan isi perut saya sudah terkuras sambil menghapus keringat dingin. Nyaris satu bak mandi kecil itu semua airnya saya pakai foya foya. Maaf yah!

Selesai mengurus hajat, pas balik ke pantai otan teman teman saya rupanya udah pada selesai dan tinggal nungguin saya aja. Duh jadi malu :p

Ok guys..kita cabut ke pantai berikutnya yakni Pantai Oenian. Sesampai di sana saya sudah ngerasaiin kulit saya memerah dan sakit. Awalnya dari Kupang saya emang bandel. Saya cuma pake body lotion karena mikir nanti di pantai aja baru pake sunblock. Tapi tidak ada yang tahu jika jarak satu pantai ke pantai lainnya itu 2 jam dan karena saya cuma pake kaos (nyaris) buntung dan hot pants, 80% kulit saya yang terekspos matahari jadi terbakar!

Alhasil, badan saya belang kayak coklat susu. Biar merata gosongnya, ya udah saya pakai bikini deh :p

Pantai Oenian
Pantai Oenian dengan kolam kecil jernihnya
Setelah merasa cukup leyeh leyeh, kami pun bergegas lanjut ke destinasi terakhir karena target kami harus pulang sebelum malem karena cemas ombak dll.

Nah dari awal di kupang hingga ke pantai kedua ini saya membonceng teman lelaki saya, sinyo yang badan dan dadanya dua kali lipat saya. Awalnya perjalanan mulus karena meski jalannya berkerikil, berbatu, berdebu, belok, naik-turun, tapi masih cukup mulus untuk dilewati. Giliran perjalanan ketiga ini, tantangan makin beragam. Kami melewati jalanan yang berpasir. Awalnya masih bisa balance. Saya membawanya dengan santai, menggosip, nyanyi-nyanyi, hingga akhirnya pasir makin banyak dan tebal. Motor saya bawa pelan dan mulai miring-miring hingga akhirnya "kepeleset" dan saya tidak bisa mengendalikan laju motor.

Bruk! Nyaris ambruk. Untung respon kami cepat. Sinyo langsung menahan motor dengan kakinya. Namun sayang, stang motor sempat menghantam paha kiri saya dan..lebam! Tapi untungnya kami gak sempat jatuh terjerambab di pasir. Kami pun cuma bisa menertawakan kemalangan kami. Akhirnya diputuskan saya tak bisa membonceng sinyo dan dia harus berjalan kaki dan meninggalkan saya jauh karena saya tetap membawa motor. Rasanya capek banget karena harus sambil dorong dorong motor agar tidak terjebak di lautan pasir ini. pfft!!!

Jalur berpasir ini cukup panjang juga, padahal bau pantai sudah terlihat dan pohon kelapa ada di mana-mana. Begitu sudah tiba di bibir pantai, pak boy malah mengarahkan saya ke atas. Atas?!? Iyah rupanya saya disuruh bawa motor menanjak ke atas bukit Liman, destinasi kami selanjutnya. Karena merasa tidak ada opsi lain lagi, terlebih beberapa teman yang lain sudah di atas, saya pun gas pol dengan nyali agak ciut.

Brum...brum... nggak pake rem lagi. Saya cuma nge-gas sekencangnya, berusaha menyeimbangkan motor, berusaha agar tidak tergelincir dengan kerikir kerikil kecil yang bertebaran di jalan hingga akhirnya saya tiba di puncak!

Karena tidak bisa berboncengan ketika naik, beberapa teman yang lain harus berjalan kaki ke atas. Sedangkan kami yang bawa motor beruntung bisa dapat bonus foto foto sendiri sepuasnya dulu!
Bukit Liman
Bukit Liman di Pulau Semau - NTT

Untungnya ketika semua sudah tiba di puncak, sunset pun menyapa. Makin keren deh foto kami!
Bukit Liman
Para Lelaki Tangguh di Bukit Liman
Credit : Valentino Luis

Bukit Liman
Sunset dan wanita cantik di Bukit Liman
Credit : Valentino Luis
Selesai foto foto lagi, kami bergegas pulang. Karena tak sanggup lagi membonceng sinyo, dengan ringan hati saya oper dia ke pak Boy. Maka, tersisalah saya mengendarai motor sendirian!

Hari udah mulai maghrib dan saya mulai cemas karena tidak ada penerangan sepanjang jalan. Saya kira dermaga sudah dekat. Setelah sejam berkendara, isi bensin, kami masih saja berpacu dalam kegelapan.
Saya tanya pak boy, "Pak, masih jauh?". "Nggak ini sudah dekat." jawabnya.
Yowes. Saya sabar saja meski pantat sudah kram dan tangan dan hati mati rasa.
Demi keselamatan dan keamanan, rombongan kami tidak boleh sampai terpisah. Satu satunya cara kami berkomunikasi adalah dengan klakson. Jika ada satu motor yang klakson (mungkin karena ada something wrong atau harus berhenti), maka motor berikutnya akan turut bantu mengklakson begitu seterusnya hingga semua mendengar dan berhenti menunggu. Karena keadaan gelap gulita dan kami berkendara dengan kecepatan tinggi, kan takutnya yang di belakang kalau sampai salah belok atau ketinggalan jauh bakalan repot, apalagi sinyal HP tidak bisa diharapkan dan rata2 gadget sudah pada lowbat.

Lucunya, kebiasaan orang lokal di sini adalah menyapa dengan klakson setiap berjumpa motor di jalan. Maka, sebagai balasan motor yang di depan balik meng-klakson untuk membalas keramahan penduduk di sini. EH malah ditangkap oleh yang dibelakang sebagai tanda bahaya dan diklakson balik juga. Jadilah kadang kadang kami klakson berjamaah tanpa mengerti apa yang sedang terjadi. Jadi bising deh HAHAHA!

Masih lanjut....
Perjalanan mulai jadi tidak asik ketika ternyata kami dihadang oleh jalan yang sedang dibuat dan kami harus melewati batu batu karang yang gede gede. Saya agak ragu namun pak boy bilang bisa lewat. Kami mencoba melewatinya hingga kadang terjebak dalam batu batu karang itu sedangkan yang lain harus turun dari boncengan (lagi!). Rupanya setelah 15 menit berjuang, di ujung jalan pak boy memberikan penalti jalan tidak bisa dilewati dan kami harus putar balik!

What!!! Padahal dermaga sudah dekat dari sini dan jam sudah menunjukkan jam 7 lebih. Kami semua keroncongan karena terakhir cuma makan siang dan ngemil kue sebagai snack. Persediaan air sudah habis dari tadi dan bahkan toilet visit saya terakhir yah di pantai otan itu. Apa daya, kami harus menelan kekecewaan dan manut saja.

Untungnya di dekat jalan tersebut ada satu gang kecil di sana dan kami pun lewat situ dan kembali ke jalan berkerikil, berdebu dengan hutan hutan di samping lagi. Seperti jalan panjang yang tak berkesudahan...

Saya bahkan merasa bukan saya lagi mengendarai motor, tetapi sayalah yang notabane dibawa motor ini. Jalan berbatu, sedikit menanjak dan menurun, saya cuma lempeng aja terus meng-gas dan terloncat loncat di dudukan motor. Saya juga tak berani toleh kanan-kiri-atas karena takut melihat sesuatu yang tak diharapkan. Saya berusaha menghalau pikiran mana kala merasa merinding atau ketinggalan dari rombongan depan yang ngebut. Berkali kali teman saya bertanya apa aku baik baik saja, masih kuat gak, mau digantiin gak, tapi saya tahu satu satunya yang bisa saya lakukan hanya bertahan, terus berkendara, dan berharap dermaga sudah dekat.

"Pak berapa lama lagi?" tanya saya ke pak boy. Sudah mulai hopeless di-PHP-in guide ini.
"Lima menit lagi." jawab pak boy misuh misuh.
Saya hanya meringis karena bahkan rumah warga pun masih jarang terlihat.

Baru akhirnya setengah jam kemudian setelah pak boy memberhentikan motor karena sinyo harus pips di tepi jalan, kami mulai melewati penurunan dan dari jauh saya bisa melihat beberapa lampu pijar bertebaran. Ah kita sudah sampai di "kota"!

Ketika benar benar sudah sampai di dermaga (saya sampai gak percaya!), saya baru bisa terharu bahagia karena kami tiba dengan selamat dan gak ditinggal kapal.

Untuk mengenang malam pertama di pulau Semau (kelelahan - dehidrasi - sekujur tubuh tertutup debu), maka tak lupa kami mengabadikannya dalam sebuah foto :
Memutih dan Menua
Kalau dipikir pikir jarak yang kami tempuh kurang lebih hampir 3 jam itu sama seperti dari kupang sudah mau ke Timor Leste! Bener bener keliling satu pulau semau (semau-maunya) dari pagi kira kira jam 10 pagi hingga menginjak Kupang kembali pukul 9 malam.

Tapi kalau liat hasil foto foto yang kami dapat, semuanya Instagram-able dan bikin saya merasa perjuangan kami REALLY WORTH IT!

Memang tak ada perjalanan mudah menuju surga yah kawan?

**

Tips traveling ke pulau Semau :
1. Bawa makanan dan minuman dari Kupang. Soalnya gak ada warung makan. Air minum juga terbatas di warung warung kecil. Harus berkendara beberapa jam dulu baru nemu.
2. Bawa uang tunai. ATM? apa itu?
3. Pakai guide lokal. Setelah pulang saya baru tahu kalo gosipnya pulau ini angker dan mistis. Yoloh langsung teringat beraninya saya bawa motor sendiri di tengah kegelapan. Lalu baru ketahuan juga kenapa si pak boy ngotot melewati jalan rusak itu karena dia awalnya menghindari jalan yang akhirnya harus kami tempuh karena angker. Jadi menurut sinyo yang dia bonceng, ketika melewati suatu daerah di situ lah satu satunya tempat di mana pak boy menyalakan rokoknya. Uuuh serem!
4. Cek motor dengan baik. Motor sudah saya isi full tank dari kupang dan ketika malam kami sempat isi setengah lagi. Untung saja begitu karena ternyata cukup jarang ada yang jual dan kami tidak tahu harus sampai putar jalan. Untung lagi bensinnya cukup sampai ke dermaga.
5. Jagalah lingkungan. Jangankan tong sampah di pantai, nemu orang aja jarang di pantai. Oleh karena itu, jika membawa apapun yang berpotensial jadi sampah, tolong sekalian dibawa pulang atau dipegang sampai ketemu tempat pembuangan. Saya ingat ketika kami bertemu ibu-ibu lokal dan salah satu dari teman saya ingin membuang sampah botol plastik. Si ibu-ibu yang melihatnya langsung memintanya. Karena sepertinya mereka tampung, banyak botol yang sedari tadi ikut kami berjalan jalan jadi berpindah tangan ke ibu-ibu tersebut. Mari kita menjaga Semau tetap bersih.
6. Puas-puasin ke WC dulu sebelum ke Semau :D

3 Pantai Indah di Pulau Semau

Kamis, 07 Januari 2016 0 komentar

Pulau Semau adalah salah satu pulau terdekat dari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Namun boleh jadi pulau malah terkesan jauh dan jarang ada yang mengunjungi. Ntah karena mistis dan gaibnya yang dipercaya masih kental di pulau ini sehingga orang takut mengunjunginya. Selain itu pulau ini memang minim fasilitas, tapi tak mengapa. Hal itu tak menyurutkan saya dan teman blogger untuk mempersiapkan trip ini sebaik baiknya dengan membawa motor, air minum, makan siang, snack dari Kupang meskipun akhirnya tetap saja perjalanan berakhir ekstrim.

Dari pelabuhan Tenau - Kupang kami menggunakan perahu dan tiba di dermaga pulau semau kurang dari 30 menit. Kalau biasanya dermaga itu airnya biasa kotor, keruh dan airnya berwarna hitam / coklat tapi di pulau semau ini airnya ijo dan bening. Pertanda : pantai di pulau ini pasti keren!

Hipotesa saya terbukti benar! Meski rata rata tiap pantai harus ditempuh sepanjang 2 jam dan badan saya gosong-terbakar-melepuh, saya tidak menyesal. Semua tidak sia sia karena 3 pantai berikut ini :
1. Pantai Otan
Pantai Otan adalah salah satu pantai yang paling tidak nampak aktivitas manusianya. Ada kapal kapal nelayan, ada bapak bapak yang sedang santai di pendopo, dan ada birunya laut dan langit yang bikin silau mata.
Pantai Otan
Birunya Pantai Otan
Salto di lembutnya pasir Pantai Otan
2. Pantai Oenian
Di tepi pantai Oenian terdapat banyak batu karang sehingga tidak cocok buat berenang. Saya pun mencoba melihat ke sisi sebelah kirinya dimana terdapat banyak batu karang dan lumut hijau hijau. Rupanya di sana unik banget. Batu karang di tepi pantai tersebut entah bagaimana ceritanya membentuk kolam-kolam kecil alami dan berlumut. Asoy banget berasa punya pool mini dengan airnya yang jernih dan sangat cocok buat berendam sambil memandang ke laut.

Pantai Oenian
Pantai Oenian
Pantai Oenian
Kolam kecil alami di Pantai Oenian
3. Bukit & Pantai Liman
Meski orang lokal menyebutnya gunung (biar keren bahasanya), namun kalau dilihat dari ketinggian yah ini jelas bukit. Bukit Liman sungguh beruntung karena berada di tengah tengah pantai putih bersih di sisi kanan-kirinya. Untuk sampai ke sini kami melewati jalan berpasir yang cukup panjang dan menguras tenaga habis habisan. Begitu sudah hampir sampai di pantai, guide saya malah mengarahkan saya ke atas. Atas?!? Iyah rupanya saya disuruh membawa motor menanjak ke atas bukit Liman. Karena merasa tidak ada opsi lain lagi, dan melihat teman saya yang lain sudah di atas, saya pun gas pol dengan nyali agak ciut.

Brum...brum... nggak pake rem lagi. Saya cuma nge-gas sebisanya, berusaha menyeimbangkan motor, berusaha agar tidak tergelincir dengan kerikir kerikil kecil yang bertebaran di jalan, dan akhirnya saya tiba di puncak!

Karena tidak bisa berboncengan ketika naik, teman saya yang lain harus mendaki ke atas dengan kaki sedangkan yang bawa motor bisa dapat bonus foto foto sendiri sepuasnya!
Bukit Liman
Bukit Liman dan Pantai Liman yang menakjubkan
Saya dan teman teman sangat beruntung karena ketika di puncak saat sunset. Keindahannya? Susah dijelaskan dengan kata kata! Biarkan foto yang berbicara.
Bukit Liman
Sunset dan wanita (cantik) di Bukit Liman
Credit : Valentino Luis
Bukit Liman
Bukit dan Pria (gagah) di Bukit Liman
Credit : Valentino Luis
Ugh Semau, kamu sukses semau maunya mengacak acak hatiku dan membuatku jatuh cinta!

 
Wisata © 2011 | Designed by Interline Cruises, in collaboration with Interline Discounts, Travel Tips and Movie Tickets