Utopia di Kampung Teluk Alulu Maratua

Jumat, 29 Januari 2016

Di sebuah siang hari yang terik, saya bersama siswa-siswi SDN 004 Teluk Alulu sedang duduk di bawah pohon rindang yang memayungi kami.

“Kak, di jakarta enak yah?” tanya salah satu siswi tiba tiba.
 “Aku mau ke Jakarta kak lihat gedung tinggi-tinggi.” lanjutnya lagi.
Saya hanya tersenyum. Andai saja bocah kecil ini tahu betapa banyak orang yang berusaha ingin menginjakkan kaki di tanah kelahirannya di sini, Maratua – Kalimantan Timur.

Kampung Teluk Alulu terletak di salah satu pulau tercantik di Indonesia yang berbatasan langsung dengan Filipina. Namun jangankan terpikir untuk menyebrang melongok kehidupan negara tetangga, menuju ke Tanjung Redeb - ibukota Kabupaten Berau - saja mungkin sudah jadi mimpi yang terlalu muluk. Kampung Teluk Alulu yang hanya dapat diakses dengan menggunakan speed boat ini berada di pulau Maratua. Tepat di sisi sebaliknya terdapat Maratua Paradise Resort dan di seberang pulau ini terdapat Nabucco Island Resort, resort milik orang asing.

Bak anak tiri, kampung teluk Alulu punya nasib berlawanan dengan penginapan kelas atas di sekitarnya. Di kala para tamu resort lainnya bermandikan air shower yang tak habis habis, para warga di Kampung Teluk Alulu sangat mengandalkan tampungan air hujan jika tidak ingin menggali sumur atau membeli air. Jika kemarau tak berkesudahan, air bahkan lebih berharga dari emas.
Di kala tamu resort bermandikan temarang lampu menghiasi kamar mereka, masyarakat kampung secara swadaya membagi jatah listrik 800 kw per rumah dengan teknologi pembangkit tenaga surya dan hanya digunakan ketika malam hari.

Pinggiran dermaga di Kampung Teluk Alulu
Tapi tak mengapa, karena saya percaya tamu tamu resort itu belum tentu dapat merasakan slogan “Hidden Paradise” yang sering digaungkan. Di kala mereka menyantap sajian makan malam dengan piring keramik, saya berkesempatan menyantap kima, makanan khas yang berasal dari kerang besar yang dipotong kecil kecil dan kabarnya hanya ada di pulau ini. Rasanya kenyal, gurih, sedikit pedas dan selalu menjadi primadona dalam hidangan. Di kala para tamu resort tidur di King Size Bed, saya suka berlama lama berbaring di atas kapal di dermaga sambil melihat ke ribuan bintang yang bersinar menghiasi langit. Suatu hal langka yang sudah jarang saya lihat terutama karena saya tinggal di kota besar.

Memang tak ada tempat wisata spesifik di kampung ini namun bukankah yang paling membekas dalam ingatan adalah interaksi dengan penduduk lokal?
Di kampung yang jarang sekali ada orang yang berkunjung ini, saya merasa seperti dimanja. Kemanapun saya ingin pergi, selalu dapat meminjam motor warga. Setelah selesai, saya baru sadar mereka hanya meletakkan motor di mana saja beserta kuncinya yang masih menempel.
“Mas, itu kuncinya nggak dicabut?” tanya saya.
“Memangnya mau dibawa kemana?” tanya mas mas itu tertawa melihat reaksi saya cemas.
Rupanya bahkan kata “mencuri” tidak ada dalam kamus mereka. Berkali kali saya sering bertanya kepada orang yang berbeda namun jawabannya mereka tetap sama. Yah mungkin mereka benar karena hanya ada dua pilihan, membawa kabur ke hutan atau ke laut. Mungkin inilah yang menginspirasi saya dan teman teman lainnya untuk tidak mengunci pintu dan jendela ketika bermalam ataupun keluar dari rumah salah satu guru SDN 004 yang kami tumpangi.
Yang berikutnya yang paling membekas bagi saya – dan juga rekan tim lain - adalah ketika pagi pagi kami tiba di SDN 004, anak anak PAUD dan SD sudah berbaris rapi dengan pakaian pramuka terbaiknya dan menyanyikan lagu “Guruku Tersayang” di halaman sekolah. Hati siapa yang tidak trenyuh?
Sambutan sederhana tapi sangat membekas

Senyum ceria siswi SDN 004 Maratua

Mengajarkan cara cuci tangan

Setelah itu, mereka lalu lanjut menarikan Daling, sebuah tari penyambutan tradisional dari Berau. Puluhan siswi dan hanya ada satu siswa berpakaian warna warni mentereng dengan gagahnya meliukkan badannya mengikuti irama musik. Mereka seakan tak peduli panas yang membakar telapak kaki mereka yang telanjang menghentak bumi.
Di penghujung tarian, salah satu siswi menghampiri saya, mengulurkan tangannya untuk mengajak saya menari. Saya tak sampai hati mengatakan tidak. Lagian takutnya kepuhunan – sebuah mitos yang dipercaya masyarakat di sini jikalau menolak sesuatu maka akan ada kesialan yang bakal menimpa- Lagipula siapa yang sanggup menolak uluran tangan mungil mereka yang tulus?

Bersama Dirjen Kemristekdikti dan tim Menyapa negeriku Berau
Balik lagi ke pertanyaan siswi tadi. Enak atau tidak adalah relatif. Saya ingin bilang pada siswi tersebut bahwa dimanapun enak tergantung dari cara kita melihatnya. Bahkan saya pun bisa merasakan kenikmatan yang lain di Kampung Teluk Alulu. Rasa nikmat melihat warga bermain voli di sore hari. Rasa damai melihat anak anak dapat bermain dan berkeliaran bebas karena semua orang saling mengenal dan menjaga. Rasa tenang karena tak banyak penduduk yang memegang gadget. Rasa bangga melihat guru-guru SM3T mengabdikan dirinya untuk mengajarkan generasi penerus nusa dan bangsa.

Maka itu, berlebihankah jika saya menyebut tempat ini sebagai Utopia?

Info :
Tulisan ini merupakan hasil dari pengalaman saya mengikuti #MenyapaNegeriku, sebuah program partisipasi publik dari Kemristekdikti dimana para peserta berkesempatan untuk memotret wajah pendidikan serta berbagi motivasi dan keahlian masing masing di sekolah – sekolah di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal di Indonesia.


Simak video perjalanan lengkap kami di Berau yah :

1 komentar:

  1. thanida mengatakan...:

    Please keep sharing more and more information about this.
    ยูฟ่าเบท

Posting Komentar

 
Wisata © 2011 | Designed by Interline Cruises, in collaboration with Interline Discounts, Travel Tips and Movie Tickets