Sudah tradisi bagi keluarga kami untuk mengunjungi kelenteng Hok Kheng Tong di malam Cap Go Meh. Jam menunjukkan pukul 18.30 dan Papa sudah senewen karena kami telat berangkat dari rumah. Jalanan menuju kelenteng merayap pelan karena penuh tumpukan kendaraan dan pedagang kecil yang berebut tempat. Untung kami terselamatkan ketika menemukan spot parkir yang strategis. Namun kembali senewen setelah tahu si tukang parkir mematok harga parkir Rp.10.000. Sungguh Cap Go Meh yang membawa berkah bagi mereka.
Kami baru akan masuk ke area pelataran kelenteng ketika Rombongan pawai Cap Go Meh yang terdiri dari barongsai, naga, umbul umbul dan patung dewa juga datang.
"Minggir..Minggir"
"Kasih jalan oi"
Teriakan para panitia tersebut memaksa pengunjung merapat ke tepi jika tidak ingin tersundul liukan naga.
Meski begitu, bagai tersihir, kami dan para pengunjung tetap antusias dan mengekor kemana rombongan tersebut pergi dari belakang. Namun karena suasana kelenteng yang bagaikan lautan manusia itu, kami menyerah dan memilih menepi ke sisi kelenteng. Aku dan keluargaku sejenak beristirahat sambil berusaha mencari oksigen di tengah pekat asap Hio (dupa).
Altar Sembahyang menghadap ke luar |
"Itu lihat dewanya udah masuk" bisik mama.
Dari jarak sekitar 5 meter nampak seorang lelaki kurus tinggi melompat lompat sambil mengayunkan tangannya ke atas dan masuk ke kelenteng. Sudah pasti ini bukan karena pengaruh euforia Cap Go Meh.
Aku yang sudah menantikan momen ini langsung menyiapkan kamera dan siap memburu si lelaki.
Di dalam kelenteng, suasana tak kalah sesak. Susah sekali rasanya bergerak nyaman. Beda sekali dengan si lelaki yang terus bertingkah mencolok. Orang orang sekitar paham akan keadannya dan langsung memberikan ruang lega untuknya bergerak. Si lelaki bergerak dari tengah kelenteng, menuju depan altar sembahyang dan akhirnya memilih keluar melebur dengan lautan manusia. Sayang saya tak berhasil mengabadikan momennya.
Namun perhatian saya kembali terengut oleh empat lelaki lainnya yang sudah dimasuki dewa jauh sebelum si lelaki kurus kering tersebut. Konon, sewaktu perayaan Cap Go Meh pihak kelenteng memang memanggil para dewa turun ke bumi untuk memberkati tahun baru di bumi agar senantiasa aman, sehat dan terhindar dari segala yang berbau negatif. Sebagai medianya, beberapa orang terpilih ini lah yang akan dihinggapi si dewa.
Empat dewa tersebut bertelanjang dada namun dipakaikan sebuah kain spesial mirip celemek di dapur. Beberapa pria punya tato di bagian tubuhnya. Namun yang paling menarik dari mereka adalah sebuah besi tipis yang tertancap di pipinya melewati daerah di antara bibir dan hidung dan tembus hingga ke bagian pipi satunya lagi. Ouch! Namun nyatanya karena mereka sudah tidak memiliki kontrol atas tubuhnya sendiri, besi itu mungkin ibarat aksesoris saja. Di ujung besi tersebut ditancapkan juga kertas sembahyang serta beberapa buah seperti jeruk atau pir. Dengan kondsisi begini, tak heran jika rasanya aku nyaris tak pernah melihat para dewa ini berbicara. Mereka hanya mengerang atau bergumam saja.
Selayaknya dewa, ke empat lelaki yang berbeda beda usianya ini duduk di meja kayu sembahyang dan dikerubungi oleh pengunjung. Kesempatan ini dimanfaatkan para pengunjung yang punya masalah dalam hidupnya untuk curhat. Ada yang berkisah tentang sakit menahun yang tak kunjung sembuh, kemelut hidup, kondisi keluarga yang runyam dan macam macam lagi. Asalkan bukan untuk meminta rejeki atau nomor togel saja. Sebagai dewa yang baik, ke empat dewa tersebut dengan sigap menorehkan sesuatu di kertas kuning dan memberikannya kepada pegunjung. Kata mama, nanti kertas tersebut bisa diminum atau ditempel dan semoga semua masalah lenyap.
Dari belakang salah satu dewa, tampak seorang lelaki muda dengan potongan rambut dibawah sedikit gondrong sedang mengamati jalannya acara tersebut. Namun di detik berikutnya si lelaki ini mulai menunjukkan gejala yang sama seperti laki laki pertama yang kurus kering. Dia mulai meloncat jumpalitan dan kehilangan dirinya. Panita yang melihatnya langsung tahu apa yang harus dilakukan. Panita tersebut membantu si dewa baru melepaskan kaos merahnya.
"Ma, apo syaratnyo biar dewa biso masuk?" Tanyaku penasaran menerka nerka siapa lagi calon dewa berikutnya.
"Ya nggak tahu, Yang penting dekat dengan dewa lah." jawab mama.
"Berapo orang yang biasonyo dimasuki dewa?" Tanyaku lagi.
"Dak tahu. Terserah dewanyo." jawab mama
"Kok dak ado yang masuk ke cewek?" tanyaku mengantisipasi.
"Dak boleh lah. Dewa harus cowok."
Hm..jawaban mama masih agak absurd se-absurd suasana saat ini.
Si dewa baru kini sudah berada di depan altar sembahyang yang penuh dengan patung dewa dan printilan sembahyang lainnya. Setelah mondar mandir, sepertinya dia menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya. Dia menunjuk nunjuk ke arah tersebut. Sempat dia beberapa kali berusaha mengambilnya namun sepertinya mengurungkan niatnya.
Beberapa panitia datang menghampirinya kembali. Mereka memasangkan kain mirip celemek tersebut untuknya dan juga memasangkan semacam umbul umbul kecil yang diikatkan di celananya. Untungnya dia memakai jeans. Kalau celana training / kain...gawat bisa melorot.
Setelah tampak lebih mirip dewa seperti senior - seniornya, si dewa baru ini masih terus menunjuk nunjuk ke dalam sebuah altar sembahyang. Si panitia yang seperti dapat mengerti bahasa tubuh ini langsung memberikannya sebuah benda bulat yang telah dipenuhi paku di tiap permukaannya. Bagai menemukan mainan baru, si dewa langsung mengibaskan benda dengan rantai besi itu ke punggungnya. Berkali kali. Darah dan luka mulai terlihat namun sepertinya dia baik baik saja dan meluncur ke luar kelenteng, siap untuk atraksi berikutnya yang lebih memukau.
Dewa Cap Go Meh |
Pengunjung mulai menyemuti lapangan di depan kelenteng karena melihat tanda tanda pertunjukan sudah dimulai. Panitia sudah meletakkan jerami kering dan kertas hio di atasnya. Tak lupa juga disirimkan minyak tanah agar api segera tersulut dan berkobar.
Dari pintu belakang, rombongan pawai telah tiba dari berkeliling ke lima kelenteng sekitar lainnya. Pertama tama pawai manusia yang membawa lampion dan umbul umbul tiba terlebih dahulu baru disusul barongsai dan naga. Baru yang telah ditunggu tunggu tiba yakni si patung dewa yang diarak dalam kursi kayunya yang ditandu dua orang. Para pemegang tandu hanya berfungsi memegang tandu tersebut karena sejatinya dewa dalam patung tersebut lah yang menggerakkannya. Tak heran jika terkadang penonton harus kocar kacir lari menghindari goyangan kursi tandu merah dewa tersebut. Setelah cukup yakin, si pemegang tandu pun mengambil aba aba dan berlari kencang menuju kobaran api.
Hup! mereka pun melompat dengan sukses tanpa terluka. Yang lain melihatnya pun tersulut semangatnya dan mulai melompat juga. Arak arakan ini hanya berlangsung sebentar sebelum akhirnya selesai dengan diluncurkannya kembang api yang memeriahkan langit purnama jambi.
Merah dimana mana saat Cap Go Meh |
0 komentar:
Posting Komentar