Pukul 6.30 pagi, Ayuk (panggilan mbak dalam bahasa Jambi) Iis sudah tiba di toko buku Edison, Jambi dan mengambil jatah korannya sebanyak 30 eksemplar.
Dikala orang baru memulai aktivitasnya, ayuk Iis telah stand-by di persimpangan lampu merah di pasar. Dengan ramah, dia menghampiri setiap mobil yang berhenti dan berharap kaca mobil diturunkan dan ada uang Rp.2.000 yang diberikan.
Ketika saya hampiri pukul 07.00 lebih sedikit, sudah hampir separoh jualannya yang laku.
Namun seiring matahari meninggi, peruntungan makin menipis.
"Nggak pernah lah laku sampe 30" kata ayuk Iis.
"Kalau sudah jam 10, aku baleklah. Panas" tambahnya lagi membetulkan letak topinya.
Meski begitu, tak terlihat dia susah hati menjalankan pekerjaan sampingan ini.
"Enak jual koran daripada nyuci baju orang, Capek!" jawabnya.
"Jualan koran ini paling sehat, olahraga terus" tambahnya lagi yang sudah mulai berkeringat.
Dari rumahnya di Jerambah Bolong (terletak di pinggiran kota Jambi), dia harus merogoh modal awal Rp.3.500 untuk ongkos angkot sekali jalan. Sedangkan gaji sebulan yang ia terima yakni Rp.500.000 ditambah untung Rp.500 per koran yang terjual. Menurutnya tak masalah karena tidak seperti agen, dia tak perlu pusing dengan target yang harus dicapai.
"Kalau dulu lebih enak lagi, jualnyo biso banyak. Kadang pulang masih biso beli nasi bungkus." ceritanya.
"Malahan ado yang ngasih duit bae, dak ambil korannya" tawanya tanpa tedeng aling aling.
Memang makin ke sini, Jambi mulai disesaki penjual koran yang selalu ada terlihat di tiap titik keramaian. Persaingan pun makin tajam.
"Kalau udah ada langgangan enak bisa cepat habisnya."
"Kayak koko disano tuh, langganan tiap hari. Agek seminggu baru bayar" tunjuknya kepada sebuah ruko yang baru buka.
Tak berapa lama dari sisi jalan yang satunya, sebuah sepeda motor berhenti. Tanpa perlu dikomando, Ayuk Iis segera menghampiri motor tersebut. Ayuk Iis memberikan koran. Si pengendara motor memberikan uang lalu meluncur begitu saja. Tanpa komunikasi. Sudah saling mengerti.
Hari ini, jika tidak sehubungan dengan acara kantor, maka saya tidak mungkin berada di sini dengan mata sembab, baru bangun tidur. Dengan berusaha menebalkan muka saya harus turun ke jalan demi ikut mencicipi pekerjaan ini. Gengsi? Pasti iya.
Apalagi ketika berjumpa dengan teman saya yang membawa mobil. Setelah dijelaskan dan saya paksa beli koran, dia pun berlalu.
Menit berlalu saya pun mulai terbiasa. Terbiasa dengan debu dan asap knalpot. Terbiasa mengekor ayuk Iis. Terbiasa ditolak. Tapi hal yang paling bikin jengah adalah tatapan tatapan dari orang lain seperti :
1. Tatapan genit atau senyum yang mengisyaratkan sesuatu.
Eits ternyata bukan saya aja yang merasa begini, namun si ayuk Iis juga saban hari kerap mengalami hal ini.
"Orang tuh tiap hari kayak gitu, genit nian. Dio katanyo mau aku jadi bininya. Aku lah ada suami."
Kata ayuk iis menunjukkan seorang bapak bapak. Untungnya dia beli koran.
2. Tatapan seolah olah saya tak ada
Ini tamparan buatku juga. Kalau biasanya saya juga suka begini kepada penjual koran / yang menjajakan dagangan agar mereka tahu saya tidak tertarik tapi setelah menjalaninya sendiri, rasanya sakitnya tuh disini. Dianggap tak ada itu emang respon yang sangat menyakitkan. yah bagaimanapun penjual koran tetap manusia. Dikacangin tuh nggak asik. Kalau saja yang saya tawarkan mau menoleh dikit aja sambil senyum bilang nggak, itu rasanya lebih ngademin hati. Aku nggak akan maksa beli kok!
3. Tatapan keheranan
Sudah ada tukang tambal cantik, ketua RT cantik, dan kali ini ada penjual koran cantik. Memang bukan pemandangan biasa yang dapat dijumpai setiap harinya. Tapi yah nggak usah gitu juga kali yah ekspresinya? Apa saya aja yang GR? *ups*
4. Tatapan memberikan harapan palsu
Dari balik kaca mobilnya, bapak itu memandangi saya. Karena saya lagi jual koran bukan jual diri maka saya dekati sambil bertanya dari balik jendelanya yang kedap suara "Koran pak?" lalu dia merogoh rogoh kantongnya. Saya pun menunggu. Wah untungnya dia menemukan uang receh. Tapi kok dia diam saja? Sial! rupanya dua ribuan itu untuk biaya parkir masuk ke pasar.
Hingga pukul 8.30 koran yang tersisa tinggal 3 eksemplar namun menjualnya susah sekali. Beberapa memang sudah mendapatkannya dari simpang sebelumnya atau ada yang berdalih dapat membaca di kantor. Daripada nanggung, saya pun akhirnya memilih berjalan ke pasar dan meminta tolong (baca: memaksa) keluarga saya di sana untuk membelinya.
Sayangnya begitu saya kembali ke simpang lampu merah lagi, Ayuk Iis sudah tak tampak lagi. Tidak sempat deh saya berterima kasih karena sudah mengajarkan saya semangat kerja kerasnya dan menghargai sebuah pekerjaan, sekecil apapun itu.
Semoga ayuk Iis senang akhirnya setelah sekian lama, 30 eksemplar koran habis terjual!
Dikala orang baru memulai aktivitasnya, ayuk Iis telah stand-by di persimpangan lampu merah di pasar. Dengan ramah, dia menghampiri setiap mobil yang berhenti dan berharap kaca mobil diturunkan dan ada uang Rp.2.000 yang diberikan.
Ketika saya hampiri pukul 07.00 lebih sedikit, sudah hampir separoh jualannya yang laku.
Namun seiring matahari meninggi, peruntungan makin menipis.
"Nggak pernah lah laku sampe 30" kata ayuk Iis.
"Kalau sudah jam 10, aku baleklah. Panas" tambahnya lagi membetulkan letak topinya.
Meski begitu, tak terlihat dia susah hati menjalankan pekerjaan sampingan ini.
"Enak jual koran daripada nyuci baju orang, Capek!" jawabnya.
"Jualan koran ini paling sehat, olahraga terus" tambahnya lagi yang sudah mulai berkeringat.
Dari rumahnya di Jerambah Bolong (terletak di pinggiran kota Jambi), dia harus merogoh modal awal Rp.3.500 untuk ongkos angkot sekali jalan. Sedangkan gaji sebulan yang ia terima yakni Rp.500.000 ditambah untung Rp.500 per koran yang terjual. Menurutnya tak masalah karena tidak seperti agen, dia tak perlu pusing dengan target yang harus dicapai.
"Kalau dulu lebih enak lagi, jualnyo biso banyak. Kadang pulang masih biso beli nasi bungkus." ceritanya.
"Malahan ado yang ngasih duit bae, dak ambil korannya" tawanya tanpa tedeng aling aling.
Memang makin ke sini, Jambi mulai disesaki penjual koran yang selalu ada terlihat di tiap titik keramaian. Persaingan pun makin tajam.
"Kalau udah ada langgangan enak bisa cepat habisnya."
"Kayak koko disano tuh, langganan tiap hari. Agek seminggu baru bayar" tunjuknya kepada sebuah ruko yang baru buka.
Tak berapa lama dari sisi jalan yang satunya, sebuah sepeda motor berhenti. Tanpa perlu dikomando, Ayuk Iis segera menghampiri motor tersebut. Ayuk Iis memberikan koran. Si pengendara motor memberikan uang lalu meluncur begitu saja. Tanpa komunikasi. Sudah saling mengerti.
Hari ini, jika tidak sehubungan dengan acara kantor, maka saya tidak mungkin berada di sini dengan mata sembab, baru bangun tidur. Dengan berusaha menebalkan muka saya harus turun ke jalan demi ikut mencicipi pekerjaan ini. Gengsi? Pasti iya.
Apalagi ketika berjumpa dengan teman saya yang membawa mobil. Setelah dijelaskan dan saya paksa beli koran, dia pun berlalu.
Menit berlalu saya pun mulai terbiasa. Terbiasa dengan debu dan asap knalpot. Terbiasa mengekor ayuk Iis. Terbiasa ditolak. Tapi hal yang paling bikin jengah adalah tatapan tatapan dari orang lain seperti :
1. Tatapan genit atau senyum yang mengisyaratkan sesuatu.
Eits ternyata bukan saya aja yang merasa begini, namun si ayuk Iis juga saban hari kerap mengalami hal ini.
"Orang tuh tiap hari kayak gitu, genit nian. Dio katanyo mau aku jadi bininya. Aku lah ada suami."
Kata ayuk iis menunjukkan seorang bapak bapak. Untungnya dia beli koran.
2. Tatapan seolah olah saya tak ada
Ini tamparan buatku juga. Kalau biasanya saya juga suka begini kepada penjual koran / yang menjajakan dagangan agar mereka tahu saya tidak tertarik tapi setelah menjalaninya sendiri, rasanya sakitnya tuh disini. Dianggap tak ada itu emang respon yang sangat menyakitkan. yah bagaimanapun penjual koran tetap manusia. Dikacangin tuh nggak asik. Kalau saja yang saya tawarkan mau menoleh dikit aja sambil senyum bilang nggak, itu rasanya lebih ngademin hati. Aku nggak akan maksa beli kok!
3. Tatapan keheranan
Sudah ada tukang tambal cantik, ketua RT cantik, dan kali ini ada penjual koran cantik. Memang bukan pemandangan biasa yang dapat dijumpai setiap harinya. Tapi yah nggak usah gitu juga kali yah ekspresinya? Apa saya aja yang GR? *ups*
4. Tatapan memberikan harapan palsu
Dari balik kaca mobilnya, bapak itu memandangi saya. Karena saya lagi jual koran bukan jual diri maka saya dekati sambil bertanya dari balik jendelanya yang kedap suara "Koran pak?" lalu dia merogoh rogoh kantongnya. Saya pun menunggu. Wah untungnya dia menemukan uang receh. Tapi kok dia diam saja? Sial! rupanya dua ribuan itu untuk biaya parkir masuk ke pasar.
Hingga pukul 8.30 koran yang tersisa tinggal 3 eksemplar namun menjualnya susah sekali. Beberapa memang sudah mendapatkannya dari simpang sebelumnya atau ada yang berdalih dapat membaca di kantor. Daripada nanggung, saya pun akhirnya memilih berjalan ke pasar dan meminta tolong (baca: memaksa) keluarga saya di sana untuk membelinya.
Sayangnya begitu saya kembali ke simpang lampu merah lagi, Ayuk Iis sudah tak tampak lagi. Tidak sempat deh saya berterima kasih karena sudah mengajarkan saya semangat kerja kerasnya dan menghargai sebuah pekerjaan, sekecil apapun itu.
Semoga ayuk Iis senang akhirnya setelah sekian lama, 30 eksemplar koran habis terjual!
Selamat hari buruh untuk ayuk Iis, teman temannya dan kita semua!
Hidup itu keras. Tapi senyum dulu lah bro! Photo by : Wahid Nurdin |